- Contoh kasus masalah Keadilan yang tidak terselesaikan
SATU per satu kasus tercium di tubuh perusahaan milik pemerintah, mulai kasus Garuda Indonesia, Asuransi Jiwasraya, hingga Asabri. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dipimpin Erick Thohir ini benar-benar harus bekerja ekstrakeras untuk mengungkap dan menuntaskan kasus tersebut, khususnya kasus Jiwasraya yang merugikan negara lebih dari Rp 13,7 triliun (versi Kejagung) dan Asabri yang diduga juga merugikan negara sekitar Rp 10 triliun.
Kasus yang menyedot perhatian publik tentu kasus Jiwasraya. Betapa tidak, perusahaan pelat merah itu ternyata tidak mampu membayar alias gagal bayar pada nasabahnya yang sebagian adalah warga negara asing (WNA). Publik pun mempertanyakan, bagaimana mungkin kasus tersebut bisa terjadi? Bagaimana pengawasan atas kinerja Asuransi Jiwasraya selama ini?
Padahal, terkuaknya kasus ini menyebabkan kepercayaan publik hancur dalam sekejap. Tentu hal ini disebabkan kekecewaan masyarakat terhadap perusahaan pelat merah yang melanggar etika dalam berbisnis dan berdampak besar merugikan masyarakat dan negara.
Membahas etika, menurut pakar filsafat K. Bertens, etika itu sendiri dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya atau arti ini dapat juga disebut sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Etika dipakai dalam arti kumpulan asas dan nilai moral, yang dimaksud di sini adalah kode etik.
Dengan kata lain, perusahaan pelat merah yang melanggar etika dalam berbisnis ini sudah mengabaikan tanggung jawab dan mengabaikan nilai serta norma-norma moral yang seharusnya dipegang teguh tanpa terkecuali.
Dengan potensi kerugian negara yang sangat besar itu, langkah hukum dan politik pun ditempuh. Kejaksaan Agung (Kejagung) fokus mengusut kasus ini dan mulai menahan orang-orang penting di balik kemudi Jiwasraya. Selain itu, langkah politik ditempuh di DPR, khususnya di komisi VI yang membidangi BUMN, yakni dengan membentuk panitia kerja atau panja. Hasilnya nanti berbentuk rekomendasi kepada pemerintah untuk menuntaskannya.
Diketahui bahwa Jiwasraya yang merupakan perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia mengalami tekanan likuiditas sehingga ekuitas perseroan tercatat negatif Rp 23,92 triliun pada September 2019. Selain itu, Jiwasraya membutuhkan uang Rp 32,89 triliun untuk kembali sehat. Ternyata, kasus gagal bayar terhadap nasabah Asuransi Jiwasraya merupakan puncak gunung es yang baru mencuat. Jika dirunut, permasalahan Jiwasraya terjadi sejak 2000-an.
Secara ringkas, pada Agustus 2018, Menteri BUMN Rini Soemarno mengumpulkan direksi untuk mendalami potensi gagal bayar perseroan. Ia juga meminta BPK dan BPKP untuk melakukan audit investigasi terhadap Jiwasraya. Kemudian Oktober–November 2018, masalah tekanan likuiditas Jiwasraya mulai tercium publik. Perseroan mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp 802 miliar.
Pada November, pemegang saham menunjuk Hexana Tri Sasongko sebagai direktur utama menggantikan Asmawi Syam. Hexana mengungkap Jiwasraya membutuhkan dana Rp 32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas (risk based capital/RBC) 120 persen. Bukan hanya itu, aset perusahaan tercatat hanya Rp 23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp 50,5 triliun.
Pada November 2019, Kementerian BUMN melaporkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejagung. Hal itu dilakukan setelah pemerintah melihat secara terperinci laporan keuangan perusahaan yang dinilai tidak transparan.
Kementerian BUMN juga menduga investasi Jiwasraya banyak ditaruh di saham-saham gorengan. Hal ini yang menjadi satu dari sekian masalah gagal bayar klaim Asuransi Jiwasraya.
Di samping penyelesaian masalah hukum dan politis, yang terpenting adalah bagaimana solusi untuk para nasabah yang jumlahnya mencapai sekitar 7 juta orang dan 17 ribu di antaranya nasabah JS Saving Plant yang jatuh tempo pembayarannya berbeda-beda. Penyelesaian pembayaran kepada nasabah ini sangat penting mengingat industri asuransi menyangkut kepercayaan dan dalam kasus ini kepercayaan kepada pemerintah.
Kita pun menyambut gembira karena pemerintah memiliki komitmen dan keseriusan untuk membayar hak nasabah, meskipun dengan berbagai opsi dan mekanisme yang secara detailnya akan diumumkan pada akhir Februari 2020. Dengan pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir pada Rabu (15/1) bahwa kementeriannya bekerja sama dengan Kementerian Keuangan, secepatnya mencari solusi dalam proses pembayaran hak nasabah ini.
Mengingat jumlah uang yang harus dibayarkan kepada nasabah sangat besar, pemerintah harus memiliki prioritas kepada siapa didahulukan dan mereka yang masuk daftar tunggu juga harus diberi gambaran kapan dana mereka akan cair. Dalam konteks ini, komunikasi antara kementerian dan nasabah melalui perwakilan mereka harus lebih intens guna menghindari gejolak sosial.
Padahal, keadilan sebagaimana terpatri dalam Pancasila sila kelima seharusnya menjadi budaya dan cermin bangsa Indonesia. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia ini harus dijunjung tinggi dengan kesadaran hati dan tanggung jawab bagi semua masyarakat, termasuk para pemangku kepentingan. Jangan sampai akibat permasalahan ini banyak masyarakat yang dibungkam haknya dan kepercayaan masyarakat terhadap nasabah akan sirna.
Pada akhirnya, kasus Jiwasraya sebenarnya adalah cermin dari tiadanya suara hati dalam mengolah produk asuransi. Seyogianya mengolah produk asuransi berbanding lurus dengan pertimbangan suara hati dalam menginvestasikan hal yang amat dibutuhkan. Pada prinsipnya, seharusnya investasi nasabah asuransi harus dipertimbangkan prinsip kebaikan untuk masyarakat.
Persoalan pengolah dengan tahu, mau, dan sadar melakukan tindakan dengan tindakan yang bertentangan dengan suara hatinya. Suara hati sendiri tidak bisa dibohongi ataupun dimanipulasi karena suara hati merupakan kebenaran yang hakiki. Masalahnya adalah ketika suara hati ditumpulkan oleh kepentingan untuk menipu, membohongi, dan mirisnya dilakukan dengan kesadaran.
Ke depan dibutuhkan dalam mengolah bisnis asuransi bukan semata-mata karena memiliki keahlian bisnis dan investasinya saja. Suara hati yang perlu diutamakan. Suara hati adalah hukum kodrati yang bisa menjadikan acuan dalam pengambilan keputusan.
Sumber : Moralitas Hilang di Kasus Jiwasraya (jawapos.com)
- Contoh Kasus Keadilan Yang Sudah Terselesaikan.
PT Nestle Indonesia menegaskan kasus pemutusan hubungan kerja karyawannya di pabrik Waru, Surabaya yang sempat melanda perusahaan beberapa tahun lalu telah selesai secara hukum.
Perusahaan menegaskan selama ini Nestle selalu menaati hukum dan peraturan ketenagakerjaan dimanapun perusahaan beroperasi, termasuk di Indonesia.
"Tuduhan yang menyatakan bahwa PT Nestle Indonesia telah mengabaikan hak para bekas karyawan pabriknya di Waru, Surabaya, dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan mereka adalah tidak benar," kata Head of Public Relation, Nestle Indonesia, Brata T Harjosubroto dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com, Jumat (8/2/2013).
Seperti diberitakan sebelumnya, komisi IX DPR bakal memanggil Nestle Indonesia terkait masalah PHK pegawai di salah satu pabriknya di Waru, Pasuruan. Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh menuding keputusan PHK merupakan keputusan sepihak yang tak didasari kaidah aturan yang berlaku.
Terhadap informasi tersebut, Brata menjelaskan seluruh 245 bekas karyawan pabrik di Waru telah menandatangani kesepakatan bersama PHK dengan Nestle Indonesia pada 15 April 2000. Perusahaan memastikan seluruh pembayaran pesangon dan hak-hak mereka lainnya telah tuntas.
PHK sendiri dilakukan berkaitan rencana penutupan pabrik Waru di tahun 2002 dan pengintegrasian fasilitas produksinya ke pabrik di Kejayan, Pasuruan.
"Pabrik di Waru tersebut ditutup dan diintegrasikan dengan pabrik di Kejayan, Pasuruan, mengingat wilayah Waru telah berkembang menjadi daerah pemukiman dan kurang memadai untuk kegiatan industri serta tidak memungkinkan dilakukannya perluasan pabrik." kata dia.
Kronologis PHK
Dalam kasus PHK karyawan Waru, Nestle Indonesia memastikan telah mengikuti seluruh prosedur dan ketentuan yang diatur dalam hukum Indonesia.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada waktu itu, yaitu pasal 3 UU no. 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta, PT Nestle Indonesia telah mengajukan permohonan ijin PHK kepada Panitia Penyelesaikan Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di Jakarta, dan P4P pada 1 Oktober 2002 telah mengeluarkan putusan nomor 1660/1578/232-6/XIII/PHK/10-2002 yang memberikan izin kepada PT Nestle Indonesia untuk melakukan PHK terhadap 245 bekas karyawan pabriknya di Waru terhitung sejak diterimanya pembayaran uang pesangon dan hak-hak lainnya sesuai kesepakatan bersama tentang PHK yang ditandatangani oleh Pengusaha dan masing-masing bekas pekerja.
Pada 7 Januari 2003, sejumlah mantan karyawan yang mewakili 215 orang bekas karyawan PT Nestle Indonesia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pada 18 Desember 2003, pihak pengadilan menolak permohonan banding para bekas karyawan pabrik di Waru dan menyatakan putusan P4P adalah sah dan benar.
Selanjutnya para bekas karyawan kembali mengajukan Memori Kasasi ke Mahkamah Agung RI pada 12 Januari 2004. Lewat putusan perkara 128K/TUN/2006, MA menyatakan menolak permohonan kasasi para bekas karyawan pabrik di Waru tersebut, dan putusan Mahkamah Agung RI tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
"Dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, maka tidak ada lagi permasalahan hukum berkenaan dengan PHK terhadap 245 bekas karyawan pabrik di Waru," kata dia.
Ombudsman RI, yang menerima pengaduan dari dua bekas karyawan pabrik di Waru, telah mendapatkan penjelasan tertulis dari kuasa PT Nestle Indonesia, Kemalsjah & Associates, melalui surat no. 6735/0141.001/KS-yl tanggal 22 Januari 2009 perihal PHK tersebut dan tidak ada korespondensi lanjutan setelahnya. (Shd/Igw)
Sumber : https://www.liputan6.com/bisnis/read/507190/nestle-kasus-phk-di-pabrik-waru-telah-selesai-secara-hukum
Comments
Post a Comment